Cari Blog Ini

Rabu, Agustus 05, 2009

Sampah Abad Berantakan (Membangun Budaya Bersih dalam Kesadaran Akhlakul Karimah)

Dalam pengalaman individu, kita menghadapi gejala-gejala yang demikian beraneka, demikian rumit dan saling bertentangan, sehingga jarang saja kita mampu melihat secara jernih. (Ernst Cassirer (1874-1945)



Manusia sudah berabad-abad hidup di bumi ini. Namun seiring usia bumi semakin tua, perilaku manusia terhadap bumi jauh dari kearifan. Manusia mutlak membutuhkan bumi untuk keberlangsungan hidup, tetapi manusia juga yang merusak dan menyakiti bumi ini. Itulah cermin manusia modern pada abad berantakan di mana nilai-nilai tidak dihormati, tidak dijadikan pandangan hidup, ditabrak, dilupakan, dan bahkan dibebaskan.

Adalah sampah yang menjadi kasus paling nyata. Ada kesan sampah sebagai sebuah teks yang gelap, yang tidak diberi ruang cahaya dalam akal sehat manusia. Sampah dicampakkan dan dimarjinalkan seperti dibuang ke parit, sungai, laut, jalan serta sudut-sudut lantai dan halaman kantor, ke taman-taman perumahan, lahan-lahan kosong atau lahan tidur milik orang lain, dan saluran air. Ironisnya juga masih ada sampah yang dibuang di sekitar rumah sendiri-sendiri. Itu belum termasuk sampah di pasar-pasar, terminal-terminal, dan sekolah-sekolah. Di kawasan yang disucikan pun sampah terkadang masih tetap ada.

Bumi menjadi begitu kotor, kumuh, dan selera manusia untuk hidup sehat di bumi yang bersih seperti mati rasa. Memang ada yang mengolah sampah menjadi pupuk, tapi itu belum menjadi kesadaran kolektif masyarakat. Manusia memang telengas dalam memperlakukan sampah : sampah dibuang sesuka hati, dan bahkan primitif seperti mencampurkan adukan sampah basah, kering, dan berbahaya. Limbah cair yang berbahaya pun masih saja dibuang ke sungai hingga merusak biota sungai. Lagi-lagi ini gambaran dalam abad berantakan di mana manusia sebagai makhluk berpikir menentang kesantuan, moral, kultur, keseimbangan alam, dan agama. Padahal Tuhan tidak pernah mencipta sesuatu di bumi ini dengan sia-sia.

Di sebuah perumahan dan pemukiman, pernah juga ditemukan kalimat di tembok-tembok yang sangat menonjok karena ditulis dengan kata-kata kasar : Jangan Buang Sampah di Sini Kecuali Binatang. Begitulah, bentuk ekpresi kekesalan yang campur baur dengan kekecewaan. Itu pun bisa membuat orang menjadi sakit lalu membentuk kristalisasi dendam. Dalam konteks ini sampah bukan lagi urusan pribadi, akan tetapi urusan sosial yang jika tidak dikelola dengan baik bisa memicu konflik. Maka negara atau pemerintah wajib melakukan intervensi.

Memang, membuang sampah tanpa pertimbangan rasional, religiusitas, aspek keindahan dan keselarasan serta kelestarian lingkungan, serta aspek-aspek sosial-budaya, bahkan etika, dan moralitas serta agama, akan merusak pencitraan sebuah kota dan perilaku masyarakatnya yang tidak cerdas, dinilai mundur atau terbelakang. Lebih dari itu, akan melahirkan bencana yang sangat pedih bagi manusia di bumi : banjir yang merusak infrastruktur kehidupan, kematian roda ekonomi, pengorbanan harta dan jiwa serta beragam penyakit yang berbahaya dan mengancam kehidupan manusia.

Perilaku kontroversial manusia dengan sampah masih terjadi di sebagaian kehidupan masyarakat Kota Tangerang, sehingga pada tahun 2007, Kota Tangerang ditetapkan sebagai “Kota Terkotor” dari kementrian lingkungan hidup, sebuah legitimasi yang sangat menyedihkan. Keputusan itu diprotes Wali Kota Tangerang H Wahidin Halim karena penilaian itu tidak relevan dengan kenyataan. Dan belum lama ini, Wahidin mewacanakan meminta fatwa kepada MUI Kota Tangerang tentang limbah dan sampah.

Adipura dan Perubahan Perilaku

Wahidin adalah figur Wali Kota yang berbeda dari kebanyakan Wali Kota yang lain. Ada karakteristik dan ciri khas pembeda dari Wahidin, yang kemudian dibuktikan dalam giroh untuk membangun birokrasi yang kuat dengan aparaturnya yang betul-betul bersih dan produktif, menjunjung nilai-nilai etika dan moralitas, serta kekuatan religius. Pondasi itu semata-mata untuk melayani keperluan dan kepentingan masyarakat Kota Tangerang dalam keikhlasan.

Wahidin mengabdikan hidupnya pada masyarakat dengan visi membangun masyarakat akhlakul karimah : sebuah masyarakat yang berakar pada nilai-nilai keluhuran akal budi. Akhlakul karimah melingkupi seluruh aspek kehidupan dan agama-agama. Tentu sudah ada pencapaian yang diraih Wahidin seperti Pelayanan Publik Terbaik tingkat nasional tahun 2008; dan Pengelolaan Keuangan Terbaik se-Indonesia versi BPK RI tahun 2007. Untuk bidang pendidikan meraih Tingkat Kelulusan se-Provinsi Banten dan Peringkat 5 tingkat nasional tahun 2007, dan beberapa prestasi mengkilap lainnya.

Namun sampai saat ini belum meraih Piala Adipura sebagai simbol dan pengharagaan terhadap kota yang bersih. Wahidin terus berbenah dengan melakukan gerakan penghijauan; lalu memindahkan pasar tradisonal yang jorok yang selama ini menjadi biang kekotoran di jantung kota; melakukan gerakan kebersihan secara masif yang melibatkan seluruh pegawai agar menjadi tauladan bagi masyarakat; mengeluarkan larangan merokok di lingkungan sekolah dan perkantora; melakukan sosialisasi melalui dialog warga; dan mengundang puluhan pengusaha untuk menandatangani kesepakatan tidak membuang limbah secara sembarang.

Target Wahidin meraih Adipura tahun 2012. Namun target itu lebih dipercepat, sekaligus juga dijadikan sebagai gerakan moral untuk merubah mainset perilaku masyarakat terhadap kebersihan. Suka tidak suka, perilaku hidup bersih memang masih rendah dalam kehidupan warga Kota Tangerang. Ada saja warga yang membuang sampah seperti dari mobil-mobil angkot, bahkan dari mobil-mobil pribadi yang mewah sekalipun, atau dari kendaraan bermotor seperti anak-anak kecil yang belum matang pikirannya. Oleh karena itu ada saja sampah yang berserakan atau tercecer di jalan-jalan, di perumahan dan pemukiman, di kawasan kantor-kantor seperti masih ada puntung-puntung rokok, di sekolah-sekolah bekas jajanan anak-anak, dan juga di terminal-terminal.



Wahidin menyadari dengan kondisi Kota Tangerang. Warga Kota Tangerang yang sudah mencapai 1,4 juta jiwa ini, kemudian menghasilkan sampah yang sangat produktif dengan timbunannya yang mencapai 3.367 M3 per hari. Sedangkan timbunan sampah yang terlayani baru mencapai 2.356 M3 per hari (tangerangkota.go.id). Karena itu masih ada persoalan pelayanan sampah sampai di tingkat masyarakat terkecil. Pembentukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan adalah langkah jenius dari Wahidin.

Pendekatan dan Regulasi

Kota Tangerang adalah sebuah wailayah dengan tingkat urbanisasi yang sangat tinggi. Suku-suku dari nusantara hidup di kota ini. Maka dalam membangun budaya bersih di kota ini dibutuhkan pendekatan yang beragam atau variatif juga yang kemudian diperkuat dengan regulasi yang mendukung visi itu. Pendekatan itu bisa berupa mengacu pada kultur dari mana warga itu berasal, namun bisa pula sebuah budaya yang diciptakan baru yang menjadi karakteristik kehidupan kota dengan penciptaaan simbol-simbolnya yang mudah diterima masyarakat kekinian di sebuah kota.

Itu membutuhkan kerja keras. Namun Wahidin bisa memaksimalkan Dinas Pemuda, Olahraga, Budaya, dan Pariwisata (Porbudpar). Dinas ini kemudian bisa bekerja dengan para seniman dan budayawan untuk melakukan perubahan mainset dalam membangun budaya hidup bersih dengan membawa tema besar membersihkan Kota Tangerang dari sampah. Pendekatan kultural ini menjadi pola yang menarik karena yang disentuh atau yang diungkit adalah soal hati nurani, sisi kemanusiaan masyarakat.

Membangun budaya bersih ini juga bisa dilakukan melalui dunia pendidikan dengan memasukkan muatan lokal, atau bisa saja berupa tambahan jam pelajaran dari mata pelajaran yang sudah ada seperti pelajaran IPA, sosial, lingkungan, dan agama. Dinas Pendidikan bisa didorong untuk membuat konsepnya yang cerdas dan berkolaborasi dengan Dinas Kebersihan dan Pertamanan serta Badan Pengendalian Lingkungan Hidup. Dari pendekatan intelektual ini akan lahir generasi baru yang akan lebih mengerti dalam memperlakukan sampah dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan secara disiplin.

Visi akhlakul karimah sudah pasti bisa dijadikan pendekatan untuk membangun budaya bersih di masyarakat. Karena akhlakul karimah itu adalah sebuah konsep universal yang tidak menyentuh perbedaan suku apalagi agama-agama tertentu. Karena itu kesadaran religius perlu terus ditembuhkan karena membuang sampah sembarangan itu harus disadari sebagai dosa dalam kesadaran keimanan. Itu bisa melalui tokoh masyarakat, pemuda, dan agama, serta lembaga-lembaga sosial yang memiliki visi yang sama. Pemerintah Kota Tangerang juga bisa mendengar ide-ide dari dari masyarakat tentang pengelolaan dan penanganan sampah

Namun Pemkot juga tak bisa selamanya menggantungkan pada pendekatan-pendekatan semacam itu.Karena itu perlu dibuat aturan yang sifatnya mengikat terhadap pelanggar lingkungan, mengingat pelanggaran terhadap lingkungan memiliki kemungkinan tetap terjadi. Karena itu Wahidin perlu menggulirkan regulasi khusus tentang pelarangan membuang sampah sembarangan yang didukung oleh DPRD. Larangan, sanksi dan denda itu harus betul-betul ditegakan. Manusia memang harus dipaksa dan disadarkan agar taat pada aturan sebagai bentuk dari manusia yang beradab, tanpa melupakan sosialisasi yang maksimal.

Pada gilirannya Pemkot wajib menyediakan tempat-tempat sampah di tempat-termpat strategis, dan menyediakan kendaraan pengangkut sampah dalam ukuran kecil hingga bisa masuk ke pemukiman-pemukiman. Dalam kontek ini, dari mulai RT/RW, kelurahan, dan kecamatan bisa dilibatkan, digerakan untuk turun ke masyarakat secara langsung, masyarakat juga terus dimotivasi agar respon terhadap gerakan ini. Dengan begitu, lambat laun perilaku masyarakat dalam membangun budaya hidup bersih akan terbentuk dari kesadaran hukum, intelektual, budaya, dan alkhalul karimah atau religius. Siapa yang tak ingin Kota Tangerang menjadi kota yang bersih dan bebas dari sampah? Sesunguhnya itulah dirindukan kita sejak lama. ***

Budi Sabarudin, wartawan Fajar Banten
www.tangerangkota.go.id

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner