Cari Blog Ini

Jumat, Juli 31, 2009

Melestarikan Cisadane Menyelamatkan Kehidupan

Keberadaan Sungai Cisadane yang membelah kota Tangerang sejauh 15 km merupakan sumberdaya alam terbesar yang dimiliki kota ini. Limpahan air sungai Cisadane merupakan sumber air baku air bersih, sumber irigasi petani, mata pencaharian nelayan, penggali pasir, pendayung perahu hingga lalu lintas pedagang bambu. Di saat-saat tertentu, Cisadane juga sebagai tambang olahraga air, pusat berlangsungnya berbagai kegiatan budaya dan atraksi hingga ilham bagi seniman.

Sungai yang membentang dari hulu di wilayah Bogor dan hilir yang berada di wilayah kabupaten Tangerang menjadi magnet tersendiri bagi kota yang berpenduduk lebih dari 1,5 juta jiwa ini. Memiliki lebar 100 meter dimulai dari wilayah perbatasan Kabupaten di Gading Serpong Kelurahan Panunggangan dan berakhir di Selapajang Jaya dengan luas daerah aliran sungai 1.1411 km2 menjadikan Cisadane benar-benar sebagai urat nadi kehidupan.

Di kanan kiri sungai terdapat banyak industri, pertokoan, perkantoran, pasar dan sebagaian pemukiman. Pada satu sisi dapat membawa keuntungan bagi penduduk karena terciptanya lapangan kerja yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita. Namun disisi lain dampak negatifnya sangat terasa karena banyak buangan limbah industri maupun limbah domstik. Dengan kondisi tersebut kualitas sungai akan memburuk apalagi tidak dikelola dengan sistem yang aplikatif melalui sistem pengendalian pencemaran yang baik.

Selain pencemaran, dibutuhkan pula keberanian untuk menormalisasikan sungai Cisadane dan membebaskannya bantaran sungai dari bangunan liar. Tak hanya Cisadane sebenarnya yang butuh normalisasi tetapi juga kali Sabi, Cirarab, Angke dan Sungai Cantiga serta situ antara lain Cangkring dan Bubulak di wilayah Kecamatan Priuk, Situ Gede di Kecamatan Tangerang Kota serta Situ Cipondoh di Kecamatan Cipondoh.

Kondisi sungai dan situ tersebut kini mengalami pendangkalan yang cukup parah. Akibatnya pada saat musim penghujan tiba, sungai maupun situ yang ada tidak lagi mampu menampung volume air, hingga akhirnya meluap dan mengakibatkan banjir.

Kesulitan muncul terutama dari segi dana dimana keberadaan Cisadane dan empat sungai lainnya bertautan pada tiga wilayah provinsi, masing-masing Provinsi Jawa Barat, Banten dan DKI sehingga upaya normalisasi harus diakomodir oleh pemerintah pusat. Sedangkan untuk konsep teknis pelaksaan dilapangan dirancang oleh masing-masing wilayah.

Data dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Tangerang, kondisi sendimentasi pada sungai maupun situ di Kota Tangerang saat ini sudah mencapai 50 persen. Dengan kondisi ini normalisasi sungai mutlak dilakukan jika tidak bahaya banjir mengancam penduduk kota.

Upaya pembebasan bantaran sungai dari bangunan liar juga diakui Kepala Badan Pengelolaan Sumber Daya Air (BPSDA) Cidurian, Provinsi Banten, Joko Suryanto sebagai tahapan normalisasi sungai Cisadane. "Kita harapkan tidak akan ada lagi bantaran sungai yang digunakan untuk bangunan ataupun fasilitas tertentu,"ujarnya.

Sejak berpisah dari provinsi Jawa Barat enam tahun lalu, Provinsi Banten melakukan sewa tanah disepanjang bantaran sungai-sungai yang ada di Banten, seperti sungai Cisadane dan sungai Ciujung. Bantaran itu disewakan kepada pihak ketiga dengan harga sewa Rp 100 pertahun/ meter. Retribusi sewa tanah bantaran ini mampu menyumbang ke kas daerah sebesar Rp 200 juta pertahun." 60 persennya dari sungai Cisadane," kata
dia.

Selama bantaran sungai itu disewakan, menurut Joko, ada syarat yang harus dipatuhi dan punya aturan main. Antara lain, bangunan atau fasilitas tidak berada digaris sepadan sungai dan tidak boleh ada bangunan permanen. Namun, praktek dilapangan berbagai pihak menyalahi aturan itu dan tumbuh dengan marak bangunan permanen disepanjang bantaran sungai dari Serpong hingga muara Tanjung Burung, Teluk Naga. Saat ini, kata Joko, ada sekitar 451 bangunan permanen dan semipermanen dengan menggunakan bantaran sungai yang terpakai seluas 367.724.94 hektar. Bangunan itu terdiri dari industri, restoran, usaha galangan kapal dan rumah penduduk yang dihuni hampir 6000 kepala keluarga

Untuk di wilayah kota Tangerang pembebasan bantaran sungai dari bangunan liar mendapat perhatian besar dari walikota Wahidin Halim. Dalam berbagai kesempatan Wahidin meminta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk segera membongkar bangunan liar yang melanggar garis sepadan jalan dan sepadan sungai karena mengganggu kebersihan, kenyamanan dan keindahan Kota .

Walikota menegaskan, bangunan-bangunan yang melanggar garis sepadan jalan, garis sepadan sungai serta bangunan yang menempati saluran air, trotoar seperti halnya kios rokok, tambal ban dan sejenisnya harus ditertibkan.

Penertiban ini, ujar Wahidin, dalam rangka membangun kesadaran masyarakat akan budaya bersih serta dalam rangka penegakan Peraturan Daerah (Perda) No. 18/2000 tentang pelaksanaan Keamanan Kebersihan dan Keindahan (K3).

Usaha ini sekejap terlihat berhasil seperti terlihat, namun tak jarang mereka mendirikan bangunan lagi usai operasi penertiban berlangsung. Untuk menertibkan bangunan liar di bantaran sungai ini memang terkadang menemui kesulitan. Pasalnya, banyak ditemukan bangunan yang berdiri di atas tanah milik negara itu yang memiliki sertifikat dan girik. Akibatnya, bangunan tersebut sampai sekarang pun masih tetap berdiri. Padahal sesuai dengan Perda No 8 Tahun 1994 Tentang Garis Sempadan dalam Wilayah Kota Tangerang menyebutkan, sempadan untuk sungai dan kali adalah selebar 15 meter dari bibir sungai. Dan, di sepanjang garis sempadan itu dilarang untuk didirikan bangunan.

Kerja keras dari pimpinan dan aparat daerah ini untuk menertibkan sungai Cisadane dari bangunan liar memang tak cukup dilakukan sendiri. Masyarakat dan pemerintah wilayah yang juga dilakukan sungai Cisadane juga harus mempunyai sikap dan kebijakan senada. Meski sedikit terlambat tapi masih banyak waktu untuk dapat melestarikan sungai kebanggaan orang Tangerang tersebut. Tinggal lagi kesadaran untuk segera berbenah seberapa besar. Kalau tidak maka Cisadane dipastikan dari anugerah akan menjadi musibah bagi kehidupan. ***

Oleh : Dewi Gustiana (Wartawan Suara Pembaruan)

sumber : www.Tangerangkota.go.id

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Subscribe via email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner